Jumat, 15 April 2011

TRAUMA ABDOMEN

1. LAPORAN PENDAHULUAN
1.1 PENGERTIAN
1.Trauma adalah cedera/ruda paksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
2. Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
3. Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
4. Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
5. Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).

1.2 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).

1.3 TANDA DAN GEJALA
1.3.1 Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium)
1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2. Respon stres simpatis
3. Perdarahan dan pembekuan darah
4. Kontaminasi bakteri
5. Kematian sel

1.3.2 Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
1. Kehilangan darah.
2. Memar/jejas pada dinding perut.
3. Kerusakan organ-organ.
4. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut
5. Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG.
1) Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
2) Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
3) Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
4) IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
5) Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
6) Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).

1.5 PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
1) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
2) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
3) Gunting baju dari luka.
4) Hitung jumlah luka.
5) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
1) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
2) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
3) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
4) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah kekeringan visera.
1) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
2) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
8. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
9. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
10. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
1) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
2) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
3) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
11. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
12. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
13. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.



1.6 KOMPLIKASI
1) Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
2) Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001)








2. ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 PENGKAJIAN
2.1.1 Trauma Tembus abdomen
1. Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
2. Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
3. Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
4. Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
5. Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
2.1.2 Trauma tumpul abdomen
Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
1. Metode cedera.
2. Waktu awitan gejala.
3. Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
4. Waktu makan atau minum terakhir.
5. Kecenderungan perdarahan.
6. Penyakit dan medikasi terbaru.
7. Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
8. Alergi.
Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1) Sistem Pernapasan (B1= Breathing)
Keadaan ventilasi pernapasan terganggu jika terdapat gangguan / instabilitasi cardiovaskuler, respirasi dan kelainan – kelainan neurologis akibat multiple trauma. Penyebab yang lain adalah perdarahan didalam rongga abdominal yang menyebabkan distended sehingga menekan diafragma yang akan mempengaruhi ekspansi rongga thoraks.
Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan napasnya.
Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal.
Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.
Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.
2) Sistem cardivaskuler (B2 = blood)
Perdarahan dalam rongga abdomen karena cidera dari oragan – organ abdominal yang padat maupun berongga atau terputusnya pembuluh darah, sehingga tubuh kehilangan darah dalam waktu singkat yang mengakibatkan shock hipovolemik dimana sisa darah tidak cukup mengisi rongga pembuluh darah.
Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal dan adakah anemis.
Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks.
3) Sistem Neurologis (B3 = Brain)
Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala.
Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak
Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
4) Sistem Urologi ( B4 = bladder)
Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya.
Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi.
Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.
5) Sistem Gatrointestinal (B5 = bowel)
Pada inspeksi :Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar, Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum abdomen, Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.,Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen iritasi.
Pada palpasi :Adakah spasme / defance mascular dan abdomen,adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa, kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.
Pada perkusi : Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana, kemungkinan – kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam cavum abdomen.
Pada Auskultasi :Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau menghilang.
Pada rectal toucher :Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.
6) Sistem Tulang dan Otot ( B6 = Bone )
Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis.
Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis










2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994).
Diagnosa keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
2. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perluasan port de entry
4. Resiko cedera berhubungan dengan suplai O2 ke otak berkurang
5. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan distensi rongga abdomen
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
9. Ansietas berhubungan dengan pengobatan, pembedahan yang akan dilakukan


2.3 INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan trauma abdomen (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan.
Tujuan : Pasien menunjukan perbaikan perfusi jaringan setelah dilakukan tindakan keperawatan ….x 24 jam
Dengan kriteria hasil:Status haemodinamik dalam kondisi normal dan stabil,Suhu (36,50C-37,50C)dan warna kulit bagian akral hangat dan kemerahan,Capillary reffil kurang dari 3 detik,Produksi urine lebih dari 30 ml/jam.
Intervensi dan rasional :
1) Jelaskan terjadinya perubahan perfusi jaringan
Rasional : pasien dapat kooperatife dalam setiap perawatan yang dilakukan dan koping pasien menjadi efektif.
2) Lakukan pemeriksaan Glasgow Coma scale (GCS) dan pupil.
Rasional: penurunan kesadaran merupakan salah satu tanda kehilangan darah yang banyak.
3) Lakukan pemeriksaan Capillary reffil, warna kulit dan kehangatan bagian akral.
Rasional: Capillary reffil < 2 detik, warna kulit dan kehangatan bagian akral menandakan keadekuatan peredaran darah ke jaringan.
4) Kolaborasi dalam pemberian cairan infus.
Rasional: untuk mengganti cairan yang hilang
5) Kaji dan monitoring kondisi pasien termasuk Airway, Breathing dan Circulation serta kontrol adanya perdarahan.
Rasional: sebagai tanda dari keadekuatan system sirkulasi.
6) Observasi tanda – tanda vital setiap 15 menit.
Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien.
7) Monitoring input dan out put terutama produksi urine.
Rasional : mengetahui apakah cairan tubuh pasien sudah terpenuhi.

2 Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan rasional :
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.


3 Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang,Klien tampak tenang.
Intervensi dan rasional :
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
2) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
3) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri
4) Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.


4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perluasan port de entry
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus,luka bersih tidak lembab dan tidak kotor,Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan rasional:
1) Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh meningkat
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
4) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.

4 Resiko cedera berhubungan dengan suplai O2 ke otak berkurang
Tujuan: Pasien tidak mengalami cedera setekah dilakukan tindakan keperawatan ….x 24 jam
Dengan kriteria hasil:Pasien terhindar dari cedera fisik
Intervensi dan rasional :
1) Jelaskan kepda pasien tentang resiko cedera
Rasional: menghindari pasien dari cedara dan membantu pasien dalam membuat koping yang positif.
2) Bantu pasien dlam ambulasi
Rasional : untuk mencegah cedera pada pasien
3) Ajarkan pasien untuk meminta bantuan dengan gerakan bila memungkinkan
Rasional :untuk menghindari resiko cedera pada pasien
4) jauhi pasien dari lingkungan yang berbahaya
Rasional: lingkungan yang berbahaya dapat membuat pasien cedera.

5 Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan distensi rongga abdomen
Tujuan :Pasien menunjukan perbaikan pola napas setelah dilakukan tindakan keperawatan ……...x 24 jam
Dengan kriteria hasil:RR 12 – 20 x/menit,Pasien tidak merasa sesak,Ekspansi paru maksimal
Intervensi dan rasional
1) Jelaskan kepada pasien dan keluarga penyebab terjadinya ketidakefektifan pola nafas.
Rasional :Ketidakefektifan pola nafas terjadi karena distensi abdomen yang menekan diafragma sehingga ekspansi thoraks tidak maksimal.
2) Ajarkan klien nafas dalam
3) Rasional:untuk meningkatkan kenyamanan
4) Berikan posisi semi fowler jika ada kontraindikasi
Rasional: untuk meningkatkan ekspansi dinding dada.
5) Kolaborasi dengan dokter dalam
•Pemberian O2
Rasional :untuk memenuhi kebutuhan oksigen
•Bantu intubasi jika pernafasan semakin memburuk dan siapkan pemasangan ventilator sesuai indikasi.
Rasional :untuk membantu pernafasan adekuat.
6) Observasi usaha pernafasan, pengembangan dada, keteraturan pernafasan, nafas cuping dan penggunaan otot bantu nafas
Rasional: untuk mengetahui derajat gangguan yang terjadi dan menentukan intervensi yang tapat.
7) Observasi adanya sesak atau dispnea
Rasional : untuk mengetahui keadaan pernafasan pasien.






6 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil : perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri, pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu, Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan rasional :
1) Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
2) Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.
3) Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
4) Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

7 Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :penampilan yang seimbang, melakukan pergerakkan dan perpindahan, mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan rasional :
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

8 Ansietas berhubungan dengan pengobatan, pembedahan yang akan dilakukan.
Tujuan : pasien tidak cemas setelah dilakukan tindakan keperawatan ….x 24 jam
Dengan Kriteria hasil:Klien mengatakan tidak cemas.Ekspresi wajah klien tampak tenang dan tidak gelisah.Klien dapat menggunakan koping mekanisme yang efektif secara fisik – psiko untuk mengurangi kecemasan.
Intervensi dan rasional :
1) Jelaskan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang pengobatan pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta keluarga.
Rasional : meningkatkan koping positif pada klien dan keluarga.
2) Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta rasa kekhawatirannya
Rasional : mengetahui tingkat kecemasan pasien dalam menghadapi sakitnya.
3) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional: pasien dapat mengurangi perasaan cemasnya
4) Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu mengungkapkan perasaannya
Rasional : mengurangi perasaan cemas pasien dan pasien merasa diperhatikan
5) Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan
Rasional :.mengetahui koping yang akan dilakukan oleh pasien

2. 4 EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
1. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
5. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal. (Brooker, 2001).






















DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta :EGC

Lynda Jual Carpenito-Moyet. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta :EGC

Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, Jakarta :EGC

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :EGC

Wilkinson M Judith.2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Selasa, 05 April 2011

ASKEP ABORTUS

LAPORAN PENDAHULUAN
1. Konsep Dasar Abortus
1.1 Pengertian
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan.
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
1.2 Klasifikasi
1.2.1 Abortus spontan
Adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata oleh faktor alamiah.
Klinis abortus spontan dapat dibagi atas :
1) Abortus imminens
Terjadi perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini, kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan.
2) Abortus insipiens
Perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda di mana hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri. Kondisi ini menunjukkan proses abortus sedang berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit.
3) Abortus inkompletus
Perdarahan pada kehamilan muda di mana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis servikalis.
4) Abortus kompletus
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari kavum uteri.
5) Abortus Habitualis ( keguguran berulang ) : adalah dimana penderita mengalami keguguran 3 kali berturut-turut atau lebih.

6) Abortus infeksiosa
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi. Adanya penyebaran kuman atau toksin ke dalam sirkulasi dan kavum peritoneum dapat menimbulkan septicemia, sepsis atau peritonitis.
7) Missed abortion
Perdarahan pada kehamilan muda disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati hingga 8 minggu atau lebih. Biasanya diagnosis tidak dapat ditentukan hanya dalam satu kali pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan dan pemeriksaan ulangan.
1.2.2 Abortus Provakatus ( induced abortion )
Adalah abortus yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi :
1) Abortus medisinalis (Abortus therapeutica)
Adalah abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan apabila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu ( berdasarkan indikasi medis ). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
2) Abortus kriminalis
Adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
1.3 Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu :
1.3.1 Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasa menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
1) Kelainan kromosom, terutama trisomi autosom dan monosomi X
2) Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna.
3) Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan, tembakau, dan alkohol.
1.3.2 Kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun.
1.3.3 Faktor maternal, seperti pneumonia, tifus, anemia berat, keracunan, dan toksoplasmosis.
1.3.4 Kelainan traktus genitalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi uteri, mioma uteri, dan kelainan bawaan uterus.
1.3.5 Kelainan endokrin, misalnya kekurangan progesteron atau disfungsi kelenjar gondok.
1.3.6 Trauma, misalnya laparatomi atau kecelakaan langsung pada ibu.
1.3.7 Gizi ibu yang kurang baik.
1.3.8 Faktor psikologis ibu.

1.4 Manifestasi klinis
1) Terlambat haid atau aminore kurang dari 20 minggu.
2) Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
3) Perdarahan per vaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
4) Rasa mulas atau kram perut di daerah simfisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus.

1.5 Pemeriksaan ginekologi :
1) Inspeksi vulva : Perdarahan per vaginam, ada atau tidak jaringan hasil konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.
2) Inspekulo : Perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
3) Vagina touche : Porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, kavum douglasi tidak menonjol dan tidak nyeri


.
1.6 Pemeriksaan Penunjang
1) Tes kehamilan : pemeriksaan HCG, positif bila janin masih hidup, bahkan 2-3 minggu setelah abortus.
2) Pemeriksaan doppler atau USG : untuk menentukan apakah janin masih hidup.
3) Pemeriksaan kadar fibrinogen darah pada missed abortion.
4) Histerosalfingografi, untuk mengetahui ada tidaknya mioma uterus submukosa dan anomali kongenital.
5) BMR dan kadar udium darah diukur untuk mengetahui apakah ada atau tidak gangguan glandula thyroidea
6) Psiko analisa
7) Pemeriksaan kadar hemoglobin cenderung menurun akibat perdarahan.

1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Abortus iminens
1) Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang melanik berkurang.
2) Periksa denyut nadi dan suhu badan dua kali sehari bila pasien tidak panas dan tiap 4 jam bila pasien panas.
3) Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah mati. Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
4) Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3x30 mg. berikan preparat hematinik misalnya sulfas ferosus 600-1000 mg.
5) Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C.
6) Bersihkan vulva minimal dua kali sehari dengan cairan antiseptic untuk mencegah infeksi terutama saat masih mengeluarkan cairan coklat.
1.7.2 Abortus insipiens
1) Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan tanpa pertolongan selama 36 jam dengan diberikan morfin.
2) Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan, tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg intramuscular.
3) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infuse oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.
4) Bila janin keluar, tetapi plasenta masih tertinggal di dalam , lakukan pengeluaran plasenta dengan cara manual.
1.7.3 Abortus inkomplit
1) Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infuse cairan NaCl fisiologis atau ringer laktat dan selekas mungkin ditransfusi darah.
2) Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret tajam lalu suntikan ergometrin 0,2 mg intramuscular.
3) Bila janin sudah keluar tetapi plasenta masih tertinggal, maka lakukan pengeluaran plasenta secara manual.
4) Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
1.7.4 Abortus komplit
1) Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3x1 tablet selama 3 sampai 5 hari.
2) Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfuse darah.
3) Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
4) Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin dan mineral.
1.7.5 Missed abortion
1) Bila kadar fibrinogen normal, segera keluarkan jaringan konsepsi dengan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
2) Bila kadar fibrinogen rendah, berikan fibrinogen kering atau segar sesaat sebelum atau ketika mengeluarkan konsepsi.
3) Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, lakukan pembukaan serviks dengan gagang laminaria selama 12 jam laulu dilatasi serviks dengan dilatator Hegar. Kemudian hasil konsepsi diambil engan cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
4) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan diestilstilbestrol 3x5 mg lalu infuse oksitosin 10 IU dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml mulai 20 tetes per menit dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan sampai 100 IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang infus oksitosin setelah pasien istirahat 1 hari.
5) Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil konsepsi dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui dinding
1.7.6 Abortus septik
Abortus septic harus dirujuk ke rumah sakit.
Penyalahgunaan infeksi :
1) Obat pilihan pertama : penisilin prokain 800.000 IU intramuscular tiap 12 jam ditambah kloramfenikol 1 g peroral selanjutnya 500 gmg peroral tiap 6 jam.
2) Obat pilihan kedua : ampisilin 1 g peroral selanjutnya 500 g tiap 4 jam ditambah metronidazol 500 mg tiap 6 jam.
3) Obat pilihan lainnya: ampisilin dan kloramfenikol, penisilin dan metronidazol, ampsilin dan gentamicin, penisilin dan gentamisin.
4) Tingkatkan asupan cairan.
5) Bila perdarahan banyak, lakukan transfusi darah.
6) Dalam 24 jam sampai 48 jam setelah perlindungan antibiotic atau lebih cepat lagi bila terjadi perdarahan, sisa konsepsi harus dikeluarkan dari uterus.
7) Pada pasien menolak dirujuk, beri pengobatan sama dengan yang diberikan pada pasien yang hendak dirujuk, selama 10 hari.
1.7.7 Abortus Habitualis
Pengobatan pada kelainan endometrium pada abortus habitualis lebih besar hasilnya jika dilakukan sebelum ada konsepsi daripada sesudahnya . merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan. Pada serviks inkompeten terapinya adalah operatif : SHIRODKAR atau MC DONALD (cervical cerclage ).




1.8 Komplikasi
1.8.1 Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
1.8.2 Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan alat-alat lain.
1.8.3 Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat.
1.8.4 Infeksi
Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium. Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.
1.8.5 Pada missed abortion dengan retensi lama hasil konsepsi dapat terjadi kelainan pembekuan darah.
2. Asuhan keperawatan
2.1 Pengkajian
Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
2.1.1 Biodata : mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan alamat
2.1.2 Keluhan utama : adanya perdarahan pervaginam berulang
2.1.3 Riwayat kesehatan , yang terdiri atas :
1) Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
2.1.4 Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.
2.1.5 Riwayat penyakit yang pernah dialami : Kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM , jantung , hipertensi , masalah ginekologi/urinary , penyakit endokrin , dan penyakit-penyakit lainnya.
2.1.6 Riwayat kesehatan keluarga : Yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
2.1.7 Riwayat kesehatan reproduksi : Kaji tentang mennorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya dismenorhoe serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta keluahan yang menyertainya
2.1.8 Riwayat kehamilan , persalinan dan nifas : Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
2.1.9 Riwayat seksual : Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta keluahn yang menyertainya.
2.1.10 Riwayat pemakaian obat : Kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat lainnya.

Pola aktivitas sehari-hari : Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.
Pemeriksaan fisik, meliputi :
Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain :
mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap drainase, pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan, bahasa tubuh, pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya keterbatasan fifik, dan seterusnya
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
Sentuhan : merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
Tekanan : menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema, memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor.
Pemeriksaan dalam : menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri yang abnormal
Pemeriksaan tinggi fundus uteri:
1) Tinggi dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan.
2) Tinggi dan besamya sudah rnengecil.
3) Fundus uteri tidak teraba diatas simfisis.







Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada dibawahnya.
Menggunakan jari : ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya refleks/gerakan pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding perut atau tidak



Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar. Mendengar : mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung janin.
2.2 Diagnosa Keperawatan
2.2.1 Kekurangan volume cairan volume cairan behubungan dengan kehilangan vaskuler dalam jumlah berlebih
2.2.2 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
2.2.3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kondisi vulva lembab.
2.2.4 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
2.2.5 Intoleansi aktivitas berhubungan dengan pendarahan.
2.2.6 Cemas berhubungan dengan ancaman kematian diri sendiri dan janin.

2.3 Intervensi Keperawatan
2.3.1 Kekurangan volume cairan berhubungan denga kehilangan vaskuler berlebih yang ditandai dengan pasien mengungkapkan merasa lemah, haus,suhu tubuh meningkat > 37.50C, turgor kulit menurun, mata cowong, pendarahan >500cc, Nadi lambat < 60 X/mnt, TD < 120/80 mmHg, RR >20, CRT > 2 dtk, oliguri dan mukosa bibir kering. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 X 24 jam volume cairan terpenuhi dengan criteria hasil :
1. pasien mengungkapkan tidak lemah, dan tidak merasa haus lagi.
2. TTV normal (suhu 36,5 – 37,5 , ND 60 – 100 X/ mnt, TD 120/80 mmHg , RR 12 – 20 X/ mnt)
3. CRT < 2dtk 4. Haluaran urine 1cc/kg BB / jam 5. Mukosa bibir lembab 6. Turgor kulit normal 7. Mata tidak cowong Intevensi : 1. Jelaskan 2. Lakukan tirah baring dan menghindari ibu untuk valsava manufer. R/ Pendarahan dapat berhenti dengan reduksi aktivitas. Peningkatan tekanan abdomen dapat merangsang pendarahan. 3. Posisikan ibu dengan tepat (semi fowler). R/ menjamin keadekuatan darah yang tersedia untuk otak, peninggian panggul menghindari kompresi vena. 4. Evaluasi , laporkan serta catat jumlah dan sifat kehilangan darah, lakukan perhitungan pembalik, kemudian timbang pembalut. R/ perkirakan kehilangan darah membantu membedakan diagnosis. 5. Catat tanda vital, pengisian kapiler pada dasar kuku, warna membrane mukosa atau kulit dan suhu. R/ membantu menentukan beratnya kehilangan darah. 6. Kolaborasi a. Dapatkan pemeriksaan darah cepat: HDL jenis dan pencocokan silang, titer Rh , kadar fibrinogen , hitung trombosit, APTT dan kadar LCC. R/ menentukan jumlah darah yang hilang dan dapat memberikan informasi mengenai penyebab yang harus dipertahankan untuk mendukung transfor oksigen dan nutrient. b. Pasang kateter R/ apabila terjadi kekurangan haluaran 30 ml/jam menadakan penurunan perfusi ginjal. c. Berikan larutan intravena , darah lengkap , ekspander plasma meningkatkan volume darah sirkulasi dan gejala – gejala syok. 2.3.2 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, nadi cepat > 100 X/mnt, TD > 120/80 mmHg, RR > 100 X/mnt,skala nyeri >5.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam nyeri berkurang dangen kriteria hasil :
1. Pasien tidak lagi mengeluh nyeri
2. TTV normal : ND 60 – 100 x / mnt, RR 12 – 20 x/mnt, TD 120/80 mmHg.
3. Skala nyeri < 3. Intervensi : 1. Jelaskan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya. R/ Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi nyeri 2. Tentukan riwayat nyeri, mis. Lokasi nyeri, frekuensi, durasi dan intesitas (skala 0-10) dan tindakan penghilangan yang digunakan. R/ untuk mengetahui lokasi nyeri, frekunsi dan inteinsitasnya. 3. Berikan tindakan fiksasi daerah yang nyeri (dengan memberikan gurita). R/ mengurangi rasa nyeri. 4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic. R/ Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum luas/spesifik 5. Pantau TTV R/ untyk mengetahui nyeri berkurang / tidak. 2.3.3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan Setelah dilakukan tindakan 3x 24 jam pasien tidak mengalami infeksi ditandai dengan KU pasien normal dengan kriteria hasil : 1. Tidak merasa nyeri pada daerah vulva. 2. Tidak merasa gatal 3. TTV normal (nadi 60-100x.mnt, TD 120/80mmHg, suhu 36,5 – 37,50C, RR 12 – 20 X/ mnt) Intervensi : 1. Terangkan pada klien pentingnya perawatan vulva selama masa perdarahan Rasional : Infeksi dapat timbul akibat kurangnya kebersihan genital yang lebih luar 2. Terangkan pada klien cara mengidentifikasi tanda infeksi Rasional : Berbagai manivestasi klinik dapat menjadi tanda nonspesifik infeksi; demam dan peningkatan rasa nyeri mungkin merupakan gejala infeksi. 3. Lakukan perawatan vulva. Rasional : inkubasi kuman pada area genital yang relatif cepat dapat menyebabkan infeksi. 4. Tingkatkan prosedur mencuci tangan yang baik Tekankan higienen personal. Rasional : membantu mencegah penularan bakteri untuk mencegah infeksi. 5.Observasi semua system, mis. Kulit, pernafasan, genitourinaria, terhadap tanda/gejala infeksi secara kontinyu. Rasional : Pengenalan dini dan intervensi segera dapat mencegah progresi pada situasi/sepsis yang lebih serius. 6.Observasi kondis keluar ; jumlah, warna, dan bau. Rasional : Perubahan yang terjadi pada dishart dikaji setiap saat dischart keluar. Adanya warna yang lebih gelap disertai bau tidak enak mungkin merupakan tanda infeksi. 7. Pantau suhu. Rasional : peningkatan suhu menandakan adanya infeksi. 2.3.4 Perubahan perfusi jaringan yang berhubungan dengan hipovolemia ditandai dengan pasien mengeluh lemas, sering pusing CRT>2detik, terjadi sianosis, nadi< 60 X/menit, TD<120/80mmHg, akral dingin. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24jam pasien menunjukan perbaikan perfusi jaringan dengan kriteria hasil:
1. Pasien tidak lagi mengeluh lemah, tidak pusing,
2. CRT<2 detik
3. Tidak terjadi sianosis
4. TTV normal (nadi 60-100x.mnt, TD 120/80mmHg)
Intervensi :
1.Anjurkan tirah baring .
Rasional : meningkatkan ketersediaan oksigen untuk ibu.
2.Perhatikan status fisiologi ibu, status sirkulasi, dan volume darah
Rasional : untuk mengetahui status sirkulasi ibu dalam keadaan normal untuk mencegah terjadinya hipovolumik.
Kolaborasi :
3. Berikan oksigen pada ibu sesuai indikasi
Rasional : untuk mempertahankan perfusi jaringan.
4. Ganti kehilangan darah atau cairan itu.
Rasional : mempertahankan volume sirkulasi yang adekuat untuk transport oksigen.
5. Dapatkan tes darah ibu untuk mengevaluasi serum ibu, darah Hb.
Rasional : untuk mengetahui seberapa banyak ibu kehilangan Hb.
2.3.5 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan perdarahan yang ditandai dengan pasien merasa lemah, tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam dengan kriteria hasil : pasien tidak lagi merasa lemah dan mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan perawat.
1. Anjurkan pasien mengikuti aktifitas dengan istirahat yang cukup.
Rasional : menghemat energi dan menghindari penggunaan tenaga terus menerus untuk meminimalkan kelelahan/kepekaan usus.
2. Anjurkan istirahat yang adekuat dan penggunaan posisi miring kiri.
Rasional : meningkatkan aliran darah ke uterus dan dapat menurunkan kepekaan/aktivitas uterus.
3. Instruksikan klien untuk menhindari mengangkat berat, aktivitas/kerja rumah tangga berat, olahraga dan perjalanan dengan motorlebih dari 1-2 jam. (Catatan : klien dengan kondisi jantung dapat menghadapi pembatasan yang lebih berat).
Rasional : aktivitas yang ditoleransi sebelumnya mungkin tidak diindikasikan untuk wanita beresiko. Latihan / ketegangan abdomen aerobic dapat menurunkan aliran darah uterus dan meningkatkan kepekaan uterus.
4. Kolaborasi :
Anjurkan tirah baring yang dimodifikasi / komplit sesuai kebutuhan.
Rasional : tingkat aktivitas mungkin perlu modifikasi tergantung pada gejala-gejala aktivitas uterus, perubahan serviks, atau perdarahan.

2.3.6 Cemas berhubungan dengan ancaman kematian pada diri sendiri dan janin
Kriteria hasil : ibu mendiskusikan kecemasan mengenai diri janin dan masa depan kehamilan, juga mengenai kecemasan yang sehat dan tidak sehat.
Intervensi
1. Jelaskan prosedur dan arti gejala
Rasional : Pengetahuan dapat membantu menurunkan rasa takut dan meningkatkan rasa kontrol terhadap situasi
2. Berikan informasi dalam bentuk verbal dan tertulis serta beri kesempatan klien untuk mengajukan pertanyaan
Rasional : Pengetahuan akan membantu ibu untuk mengatasi apa yang sedang terjadi dengan lebih efektif. Informasi sebaiknya tertulis, agar nantinya memungkinkan ibu untuk mengulang informasi akibat tingkat stres, ibu mungkin tidak dapat mengasimilasi informasi. Jawaban yang jujur dapat meningkatkan pemahaman dengan lebih baik serta menurunkan rasa takut.
3. Dengarkan masalah ibu dengan seksama
Rasional : Menigkatkan rasa kontrol terhadap situasi dan memberikan kesempatan pada ibu untuk mengembangkan solusi sendiri

4. Diskusikan tentang situasi dan pemahaman tentang situasi dengan ibu dan pasangan
Rasional : Memberikan informasi tentang reaksi individu terhadap apa yang terjadi.

5. Libatkan ibu dalam perencanaan dan berpatisipasi dalam perawatan sebanyak mungkin
Rasional : Menjadi mampu melakukan sesuatu untuk membantu mengontrol situasi sehingga dapat menurunkan rasa takut

6. Pantau respon verbal dan non verbal ibu dan pasangan.
Rasional : Menandai tingkat kecemasan yang sedang dialami ibu atau pasangan







DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi
Edisi 2. Jakarta : EGC
Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Buku Ajaran Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : YBP-SP
Mansjoer, Arif Dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Mochtar, Rustom. 1998. Sinopsis Obstetri jilid 1 edisi 2. Jakarta : EGC














ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL
DENGAN ABORTUS







KELOMPOK :
ANALIZZA INA LEA (200802005)
ANITA SAHARA (200802008)
IKA PUNDIA KRISTIN N. B. (200802025)
MEGA AYU MUSTIKA (200802038)
MELANIA PUTU DIAN A. A. (200802039)
RICA RACHEL NAINGGOLAN (200802047)
SORAYA EVA E. (200802050)
WILHELMUS YUSTISINO (200802056)
YUDITH MARIA S. LE (200802059)

STIKES KATOLIK ST. VINCENTIUS A PAULO SURABAYA
TAHUN 2010 / 2011
WOC

Senin, 04 April 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU NIFAS DENGAN HEMORAGI POSTPARTUM

LAPORAN PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN
Hemoragi pasca partum merupakan kehilangan 500 ml darah atau lebih setelah kelahiran pervaginam ( Bobak 2004, hal 663 ).
Menurut Willams & Wilkins (1988) perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada masa post partum yang lebih dari 500 cc segera setelah bayi lahir.
POGI, tahun 2000 mendefinisikan perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada masa post partum yang menyebabkan perubahan tanda vital seperti klien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, dalam pemeriksaan fisik hiperpnea, sistolik < 90 mmHg, nadi > 100 x/menit dan kadar HB < 8 gr %. B. KLASIFIKASI PERDARAHAN. • Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan berlebihan ( 600 ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi dalam 12 - 24 jam pertama setelah melahirkan. • Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah perdarahan yang terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska persalinan. Late HPP adalah kehilangan berat badan 1 % atau lebih karena 1 ml darah beratnya 1 gr ( Bobak 2004, hal 663 ) C. ETIOLOGI Penyebab perdarahan dibagi dua sesuai dengan jenis perdarahan yaitu : • Penyebab perdarahan paska persalinan dini : 1. Atonia uteri Keadaan lemahnya tonus atau konstraksi rahim yang menyebabkan uterus meregang sehingga tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan baik, dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum. Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah : a) Regangan rahim yang berlebihan karena gemeli, polihidroamnion, atau anak terlalu besar b) Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep. c) Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun. d) Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim. e) Infeksi intrauterin (korioamnionitis) f) Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya. g) Umur yang terlalu muda atau tua h) Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara i) Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi 2. Retensio plasenta Plasenta tetap tertinggal dalam uterus 30 menit setelah anak lahir. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala III dapat disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta : a) Plasenta previa b) Bekas SC c) Kuret berulang d) Multiparitas 3. Trauma jalan lahir Perdarahan dalam keadaan di mana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahir terdiri dari: a. Robekan Perineum, di bagi menurut tingkatan :  Tingkat I : robekan hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum  Tingkat II : robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinei transversalis, tetapi tidak mengenai sfingter ani  Tingkat III : robekan mengenai seluruh perineum dan otot sfingter ani  Tingkat IV : robekan sampai mukosa rectum b. Hematoma, karena adanya kompresi yang kuat di sepanjang traktus genitalia dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum yang ekimotik. Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali secara alami c. Robekan dinding vagina Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum. d. Robekan serviks Robekan serviks paling sering terjadi pada jam 3 dan 9. Bibir depan dan bibir belakang serviks dijepit dengan klem Fenster. Kemudian serviks ditarik sedikit untuk menentukan letak robekan dan ujung robekan. Selanjutnya robekan dijahit dengan catgut kromik dimulai dari ujung robekan untuk menghentikan perdarahan. e. Ruptura uteri 4. Inversio uteri Keadaan di mana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya. 5. Gangguan pembekuan darah Bentuk patologis pembekuan yang difus, yang mengkonsumsi sejumlah factor pembekuan menyebabkan perdarahan. • Penyebab perdarahan paska persalinan terlambat biasanya disebabkan oleh: a. Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6 – 10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Pada perdarahan postpartum lambat gejalanya sama dengan subinvolusi rahim, yaitu perdarahan yang berulang atau berlangsung terus dan berasal dari rongga rahim. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok b. Infeksi akibat retensi produk pembuangan dalam uterus sehingga terjadi sub involusi uterus. D. GAMBARAN KLINIK Gejala klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah dalam jumlah yang banyak ( > 500 ml ), nadi lemah, pucat, lokhea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin dan mual.
Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan sehingga pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :

Gejala dan tanda Penyulit Diagnosa penyebab
• Uterus tidak berkontraksi dan lembek
• Perdarahan segera setelah bayi lahir • Syok ( TD rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, dan mual )
• Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar • Atonia uteri
• Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
• Uterus berkontraksi dan keras
• Plasenta lengkap • Pucat
• Lemah
• Mengigil • Trauma jalan lahir
• Plasenta belum lahir setelah 30 menit
• Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras • Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
• Inversio uteri akibat tarikan
• Perdarahan lanjutan • Retensio plasenta
• Plasenta atau sebagian selaput ( mengandung pembuluh darah ) tidak lengkap
• Perdarahan segera • Uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang • Tertinggalnya sebagian plasenta
• Uterus tidak teraba
• Lumen vagina terisi massa
• Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir )
• Perdarahan segera
• Nyeri sedikit atau berat • Neurogenik syok, pucat dan limbung • Inversio uteri


E. KOMPLIKASI
Komplikasi hemoragi pasca partum ada 2 yakni :
• Segera : syok hemoragik ( hipovolemi ) dan kematian dapat terjadi akibat perdarahan yang tiba – tiba dan perdarahan berlebihan.
• Komplikasi yang tertunda, yang timbul akibat hemoragik pascapartum mencakup anemia, infeksi puerperal, dan tromboembolisme
( Bobak 2004, hal 664 )

F. PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih meregang. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang meregang tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perineum.



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
2) Pemeriksaan darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
3) Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum
4) Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
5) Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
6) Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
e. Atasi syok jika terjadi syok
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2. Penatalaksanaan khusus
a. Atonia uteri
 Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
 Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
 Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
 Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
 Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
 Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
 Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
b. Retensio plasenta
 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
 Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
 Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
 Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
 Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
 Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).
c. Trauma jalan lahir
1) Ruptur uteri
 Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
 Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
 Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus
 Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
 Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
 Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.
2) Robekan dinding vagina
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
 Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
 Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
 Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
 Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
 Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
 Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
 Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
3) Robekan serviks
 Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
 Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
 Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
 Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan
 Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
 Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah
d. Sisa plasenta
 Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
 Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
 Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
 Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.
e. Gangguan pembekuan darah
Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HPP

I. PENGKAJIAN
1. Identitas : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record dan lain – lain.
2. Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronis, hemophilia, riwayat pre eklampsia, trauma jalan lahir, kegagalan kompresi pembuluh darah, tempat implantasi plasenta, reternsi sisa plasenta.
4. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu : kehilangan darah dalam jumlah banyak (>500ml), Nadi lemah, pucat, lokea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, dan mual.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang pernah atau sedang menderita hipertensi, penyakit jantung, dan pre eklampsia, penyakit keturunan hemopilia dan penyakit menular.
6. Riwayat obstetrik
a. Riwayat menstruasi meliputi : Menarche, lamanya siklus, banyaknya, baunya, keluhan waktu haid, HPHT.
b. Riwayat perkawinan meliputi : Usia kawin, kawin yang keberapa,usia mulai hamil
c. Riwayat hamil : persalinan dan nifas yang lalu
• Riwayat hamil meliputi: Waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus, retensi plasenta
• Riwayat persalinan meliputi: Tua kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin, apakah ada kesulitan dalam persalinan anak lahir atau mati, berat badan anak waktu lahir, panjang waktu lahir.
• Riwayat nifas meliputi: Keadaan lochea, apakah ada pendarahan, ASI cukup atau tidak dan kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi
d. Riwayat Kehamilan sekarang
• Hamil muda, keluhan selama hamil muda
• Hamil tua, keluhan selama hamil tua, peningkatan berat badan, tinggi badan, suhu, nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual, keluhan lain.
• Riwayat antenatal care meliputi : Dimana tempat pelayanan, beberapa kali, perawatan serta pengobatannya yang didapat

e. Pola pemenuhan kebutuhan dasar

• Makan dan minum meliputi : komposisi makanan, frekuensi, baik sebelum dirawat maupun selama dirawat. Adapun makan dan minum pada masa nifas harus bermutu dan bergizi, cukup kalori, makanan yang mengandung protein, banyak cairan, sayur-sayuran dan buah – buahan.
• Eliminasi meliputi : pola dan defekasi, jumlah warna, konsistensi. Adanya perubahan pola miksi dan defeksi.
BAB harus ada 3-4 hari post partum sedangkan miksi hendaklah secepatnya dilakukan sendiri (Rustam Mukthar, 1995 )
• Istirahat atau tidur meliputi : gangguan pola tidur karena perubahan peran dan melaporkan kelelahan yang berlebihan.
• Personal hygiene meliputi : Pola atau frekuensi mandi, menggosok gigi, keramas, baik sebelum dan selama dirawat serta perawatan mengganti balutan atau duk.
7. Pemeriksaan fisik
• Keadaan umum
- Konjungtifa pucat, mata cowong, wajah tampak anemis, mukosa bibir kering.
- Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg )


- Nadi : meningkat ( 100-120 x/menit)
- Pernafasan : normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
- Suhu : normal/ meningkat
- Kesadaran : normal / turun.
• Pemeriksaan abdomen : TFU tetap karena tidak ada kontraksi uterus ( subinvolusi ),kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang.
• Pemeriksaan genitalia
Keluar darah, bekas jahitan apakah ada membuka atau tidak, lochea ( jumlah,warna dan bau ), apakah ada tanda – tanda infeksi.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
2. Perubahan perfusi jaringan berhubungan hipovolemia
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kurangnya suplay O2 ke jaringan.
4. Ansietas berhubungan dengan ancaman perubahan pada status kesehatan.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan suplay O2 ke jaringan menurun.
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan keadaan vagina yang lembab.

III. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pervaginam
Tujuan : Pasien menunjukan adanya keseimbangan cairan dan elektrolit setelah di lakukan tindakan keperawatan ….x 24 jam, dengan criteria hasil :

Mandiri
1) Kaji dan catat jumlah, tipe, dan sisi perdarahan. Timbang dan hitung pembalut, simpan bekuan dan jaringan untuk diobservasi oleh dokter.
R/ Perkiraan kehilangan darah, arterial vs vena dan adanya bekuan – bekuan membantu membuat diagnosa banding dan menentukan kebutuhan penggantian (1gr peningkatan berat pembalut sama dengan ± 1ml kehilangan darah )
2) Kaji lokasi uterus dan derajat kontraktilitas uterus. Dengan perlahan masase penonjolan uterus dengan 1 tangan sambil menempatkan tangan ke 2 tepat diatas simpisis pubis.
R/ derajat kontraktilitas uterus membantu dalam diagnosa banding. Peningkatan kontraktilitas miometrium dapat menurunkan kehilangan darah. Penempatan 1 tangan diatas simpisis pubis mencegah kemungkinan infersi uterus selama masase.
3) Lakukan tirah baring dengan kaki ditinggikan 20 – 30 derajat dan tubuh horizontal.
R/ pengubahan posisi yang tepat meningkatkan aliran balik vena, menjamin persediaan darah ke otak dan organ vital lainnya.
4) Monitor tanda vital
R/ perubahan tanda vital menunjukkan adanya perubahan pada keadaan klien ( hipovolemik,infeksi dan syok )
5) Pantau masukan dan haluaran, perhatikan berat jenis urin.
R/ bermanfaat dalam memperkirakan luas/signifikansi kehilangan cairan. Volume perfusi/sirkulasi adekuat ditunjukkan dengan haluaran 30 – 50 ml/jam atau lebih besar.
6) Evaluasi kandung kemih
R/ kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus
7) Berikan lingkungan yang tenang dan dukungan psikologis.
R/ meningkatkan relaksasi, menurunkan ansietas dan kebutuhan metabolik.

Kolaborasi
1) Berikan infus cairan isotonis atau cairan elektrolit dan transfusi darah
R/ pemberian infus dan transfusi darah dapat meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah terjadinya syok.
2) Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ uterotonika merangsang kontraksi uterus,sehingga dapat mengontrol perdarahan.
3) Berikan terapi antibiotik ( berdasarkan pada kultur dan sensitivitas terhadap lokhea )
R/ antibiotik bertindak secara profilaktik untuk mencegah infeksi atau mungkin diperlukan untuk infeksi yang disebabkan atau diperberat pada subinvolusi uterus atau hemoragi.



D. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
• Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
• Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
• Gas darah dalam batas normal
• Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
• Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
• Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
• Klien tidak merasa nyeri
• Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E. 2001. Rencana Perawatan Maternal – Bayi Edisi 2. Jakarta : EGC
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit, Kandungan, dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
2005. Buku Saku Manajamen Komplikasi Kehamilan dan Persalinan. Jakarta : EGC. Alih Bahasa : Devi Yulianti, S.kp
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal Edisi 1. Jakarta : Tridasa Printer
http://istanareload.wordpress.com/2009/05/13/perdarahan-post-partum-hpp/

askep katarak

BAB I : LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Pengertian :
Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya yang biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progesif. (Mansjoer,2000;62.
Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif.
Katarak mengakibatkan pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di dalam mata, seperti melihat air terjun. Penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.

1.2 Etiologi
1. Usia ( Katarak Senilis )
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada usia 60 tahun keatas.
2. Trauma
Cedera mata dapat mengenai semua umur seperti pukulan keras, tusukan benda, terpotong, panas yang tinggi, dan bahan kimia dapat merusak lensa mata dan keadaan ini disebut katarak traumatik.
3. Penyakit mata lain ( Uveitis )
4. Penyakit sistemik ( Diabetes Mellitus )
5. Defek kongenital
Salah satu kelainan herediter sebagai akibat dari infeksi virus prenatal seperti German measles atau rubella. Katarak kongenitalis bisa merupakan penyakit keturunan ( diwariskan secara autosomal domonan ) atau bisa disebabkan oleh :
• Infeksi congenital, seperti campak jerman ( german measles )
• Berhubungan dengan penyakit metabolik, seperti galaktosemia (kadar gula yang meningkat).
Factor resiko terjadinya katarak kongenitalis adalah :
 Penyakit metabolik yang diturunkan
 Riwayat katarak dalam keluarga
 Infeksi virus pada ibu ketika bayi masih dalam kandungan.

Penyebab katarak lainnya meliputi :
• Faktor keturunan.
• Cacat bawaan sejak lahir.
• Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
• Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
• gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)
• gangguan pertumbuhan,
• Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama.
• Rokok dan Alkohol
• Operasi mata sebelumnya.
• Faktor-faktor lainnya yang belum diketahui.
1.3 Klasifikasi
1.3.1 Berdasarkan usia pasien, katarak dapat di bagi dalam :
1) Katarak kongeniatal : katarak yang di temukan pada bayi ketika lahir (sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun)
2) Katarak juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan di bawah usia 40 tahun
3) Katarak presenil, yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun
4) Katarak senilis : katarak yang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Jenis katarak ini merupakan proses degeneratif ( kemunduran ) dan yang paling sering ditemukan.Adapun tahapan katarak senilis adalah :
a. Katarak insipien : pada stadium insipien (awal) kekeruhan lensa mata masih sangat minimal, bahkan tidak terlihat tanpa menggunakan alat periksa. Kekeruhan lensa berbentuk bercak-bercak kekeruhan yang tidak teratur.penderita pada stadium ini seringkali tidak merasakan keluhan atau gangguan pada penglihatanya sehingga cenderung diabaikan.
b. Katarak immataur : lensa masih memiliki bagian yang jernih
c. Katarak matur : Pada stadium ini proses kekeruhan lensa terus berlangsung dan bertambah sampai menyeluruh pada bagian lensa sehingga keluhan yang sering disampaikan oleh penderita katarak pada saat ini adalah kesulitan saat membaca, penglihatan menjadi kabur, dan kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari. Selain keluhan tesebut ada beberapa gejala yang dialami oleh penderita katarak, seperti :
1) Penglihatan berkabut atau justru terlalu silau saat melihat cahaya.
2) Warna terlihat pudar.
3) Sulit melihat saat malam hari.
4) Penglihatan ganda saat melihat satu benda dengan satu mata. Gejala ini terjadi saat katarak bertambah luas.
d. Katarak hipermatur : terdapat bagian permukaan lensa yang sudah merembes melalui kapsul lensa dan bisa menyebabkan perdangan pada struktur mata yang lainya.
1.3.2 Berdasarkan penyebabnya dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut :
1) katarak toksika : merupakan katarak yang terjadi akibat adanya pajanan dengan bahan kimia tertentu. Selain itu, katarak ini dapat juga terjadi karena penggunaan obat seperti kortikosteroid dan chlorpromazine
2) Katarak trauma : katarak yang terjadi akibat trauma baik karena trauma tumpul maupun tajam.penyebab kataraqk ini antara lain karena radiasi sinar –X, radioaktif, dan benda asing.
3) Katarak komplikata (sekunder) : penyakit infeksi tertentu dan penyakit seperti DM dapat mengakibatkan timbulnya kekeruhan pada lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata


1.4 Manifestasi klinis

Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya klien melaporkan penurunan.ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif biasanya meliputi pengembunann seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan menjadi kabur atau redup, menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun dan ketika katarak sudah sangat memburuk lensa yang lebih kuat pun tidak akan mampu memperbaiki penglihatan. Orang dengan katarak secara khas selalu mencari cara untuk menghindari silau yang berasal dari cahaya yang salah arah. Misalnya dengan mengenkan topi berkelapak lebar atau kaca mata hitam dan menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari.

1.4.1 Gejala umum gangguan katarak meliputi :
1) Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
2) Peka terhadap sinar atau cahaya.
3) Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
4) Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
5) Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
1.4.2 Gangguan penglihatan bisa berupa :
1) Kesulitan melihat pada malam hari
2) Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan mata
3) Penurunan ketajaman penglihatan ( bahkan pada siang hari )

1.4.3 Gejala lainya adalah :
1) Sering berganti kaca mata
2) Penglihatan sering pada salah satu mata.
3) Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan tekanan di dalam mata ( glukoma ) yang bisa menimbulkan rasa nyeri.

1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita katarak adalah sebagai berikut :
1) Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
2) Lapang Penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
3) Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
4) Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
5) Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
6) Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
7) Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
EKG, kolesterol serum, lipid
8) Tes toleransi glukosa : kontrol DM
9) Keratometri.
10) Pemeriksaan lampu slit.
11) A-scan ultrasound (echography)
12) Penghitungan sel endotel penting u/ fakoemulsifikasi & implantasi.
13) USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.

1.6 Komplikasi
Penyulit yg terjadi berupa visus tdk akan mencapai 5/5 à ambliopia sensori.
Komplikasi yang terjadi nistagmus dan strabismus dan bila katarak dibiarkan maka akan mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan Uveitis.

1.6.1 Komplikasi pasca operasi :
1) Peningkatan tekanan Intraokular yang diperlukan untuk menguatkan kembali beberapa aktivitas selama periode pasca operasi dan harus menerangkan hal ini pada klien serta keluarganya. Aktivitas tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dengan meningkatnya tekanan intraocular yang ditandai dengan batuk-batuk, bengkokkan pada pinggang, muntah, bersin dan kemerahan pada mata, mual, dan selalu tidur atau cemas serta lemah pada saat operasi. Terjadinya konstipasi berat, pusing, dan gejala panas seharusnya ditangani dengan pengobatan yang efektif dan sesuai, guna menghindari hal-hal yang membahayakan dalam proses pengobatan.
2) Infeksi .
Perawat mengobservasi klien tanpa adanya peningkatan kemerahan pada mata, penglihatan tajam, pengeluaran air mata, fotofobia. Cairan tersebut dapat berbentuk krim yang berwarna putih, kering, dan pekat.
3) Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada mata bagian depan dan terjadi setiap hari setelah dilakukan pembedahan. Darah juga dating akibat insisi dari iris atau dari tubuh yang bersilia. Hal ini disebabkan oleh adanya pengeluaran darah dari intraocular akibat tidak sempurnanya pengobatan hingga melukai jaringan tersebut, ketidakadekuatan jahitan luka, adanya trauma, dan menigkatnya tekanan intraocular. Sering terjadi banyak kerusakan penglihatan yang harus dilapokan klien.
4) Ablasio retina
Dapat terjadi setelah pembedahan katarak. Meningkatnya ekstrasi katarak intrakapsular, yaitu kembalinya bagian belakang kapsula. Hal tersebut dapat mengaikatkan klien melakukan gerakkan secara tiba-tiba, vitreus(sejenis kaca) dapat bergerak ke depan dan naik menuju ke retina,akibatnya terjadi perubahan struktur.

1.7 Penatalaksanaan
Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator pupil dan refraksi kuat sampai ke titik di mana pasien melakukan aktivitas sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan yang terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih buruk lagi bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup, atau bila visualisasi segmen posterior sangat perlu untuk mengevaluasi perkembangan berbagai penyakit retina atau saraf optikus, seperti diabetes dan glaukoma.
1.7.1 Pembedahan katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan.
1.7.1.1 Pengangkatan lensa
Ada dua macam teknik pembedahan ynag bias digunakan untuk mengangkat lensa:
1. Pembedahan ekstrakapsuler : lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya.
2. Pembedahan intrakapsuler : pengangkatan lensa beserta kapsulnya. Namun, saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan.
1.7.1.2 Penggantian lensa
Penderita yang telah menjalani pembedahan katrak biasanya akan mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang teleh diangkat. Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokuler dan biasanya lensa intraokuler dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata.
Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan, dan mempercepat penyembuhan selama beberapa minggu setelah pembedahan di berikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan benar-benar sembuh.

1.7.2 Adapaun penatalaksanaan pada saat post operasi antara lain :
1.7.2.1 Pembatasan aktivitas, pasien yang telah melaksanakan pembedahan diperbolehkan
1. Menonton televisi; membaca bila perlu, tapi jangan terlalu lama
 Mengerjakan aktivitas biasa tapi dikurangi
 Pada awal mandi waslap selanjutnya menggunakan bak mandi atau pancuran
 Tidak boleh membungkuk pada wastafel atau bak mandi; condongkan sedikit kepala kebelakang saat mencuci rambut
2. Tidur dengan perisai pelindung mata logam pada malam hari; mengenakan kacamata pada siang hari
3. Ketika tidur, berbaring terlentang atau miring pada posisi mata yang tidak dioperasi, dan tidak boleh telengku
4. Aktivitas dengan duduk
5. Mengenakan kacamata hitam untuk kenyamanan
6. Berlutut atau jongkok saat mengambil sesuatu dari lantai
7. Dihindari (paling tidak selama 1 minggu)
 Tidur pada sisi yang sakit
 Menggosok mata, menekan kelopak untuk menutup
 Mengejan saat defekasi
 Memakai sabun mendekati mata
 Mengangkat benda yang lebih dari 7 Kg
 Berhubungan seks
 Mengendarai kendaraan
 Batuk, bersin, dan muntah
 Menundukkan kepala sampai bawah pinggang, melipat lutut saja dan punggung tetap lurus untuk mengambil sesuatu dari lantai.


BAB II ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan katarak adalah :
1. IdentitasBerisi nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan keterangan lain mengenai identitas pasien. Pada pasien dengan katarak konginetal biasanya sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun, sedangakan pasien dengan katarak juvenile terjadi pada usia < 40 tahun, pasien dengan katarak presenil terjadi pada usia sesudah 30-40 tahun, dan pasien dengan katark senilis terjadi pada usia > 40 tahun.

2. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan penjelasan dari keluhan utama. Misalnya yang sering terjadi pada pasien dengan katarak adalah penurunan ketajaman penglihatan

3. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti DM, hipertensi, pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolic lainnya memicu resiko katarak.

4. Aktifitas istirahat
Gejala yang terjadi pada aktifitas istirahat yakni perubahan aktifitas biasanya atau hobi yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.

5. Neurosensori
Gejala yamg terjadi pada neurosensori adalah gamgguam penglihatan kabur / tidak jelas, sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat atau merasa di runag gelap. Penglihatan berawan / kabur, tampak lingkaran cahaya / pelangi di sekitar sinar, perubahan kaca mata, pengobatan tidak memperbaikipenglihatan, fotophobia ( glukoma akut ).
Gejala tersebut ditandai dengan mata tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil ( katarak ), pupil menyempit dan merah atau mata keras dan kornea berawan ( glukoma berat dan peningkatan air mata ).

6. Nyeri / kenyamanan
Gejalanya yaitu ketidaknyamanan ringan / atau mata berair. Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan pada atau sekitar mata, dan sakit kepala.
7) Pembelajaran / pengajaran
Pada pengkajian klien dengan gangguan mata ( katarak ) kaji riwayat keluarga apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena, ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.


2.2 Diagnosa keperawatan

1. Penurunan persepsi sensori : penglihatan yang berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan dan kejelasan penglihatan.
Diagnosa keperawatan pre.operasi
2. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian operasi.
Diagnosa keperawatan pasca operasi
3. Resiko cedera yang berhubungan dengan penigkatan tekanan intraocular ( TIO ), perdarahan, kehilangan vitreus.
4. Nyeri yang berhubungan dengan luka pasca operasi
5. Gangguan perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan penglihatan, pembatasan aktivitas pasca operasi.
6. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang sumber pendukung.


2.3 Intervensi :
1. Penurunan persepsi sensori : penglihatan yang berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan dan kejelasan penglihatan.
• Kaji ketajaman penglihatan klien
R/ mengidentifikasi kemampuan visual klien
• Identifikasi alternative untuk optimalisasi sumber rangsangan
R/memberikan keakuratan penglihatan dan perawatan
• Sesuaikan lingkungan untuk optimalisasi penglihatan
R/meningkatkan kemampuan persepsi sensori
• Anjurkan penggunaan alternatif rangsang lingkungan yang dapat diterima ; auditorik, taktil
R/meningkatkan kemampuan respons terhadap stimulus lingkungan

Intervensi keperawatan pre.operasi
2. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kejadian operasi.
Diagnosa keperawatan pasca operasi
• Jelaskan kejadian pre- dan pascaoperasi, manfaat operasi dan sikap yang harus dilakukan klien selama masa operasi
R/meningkatkan pemahaman tentang gambaran operasi untuk menurunkan ansietas
• Jawab pertanyaan khusus tentang pembedahan,berikan waktu untuk mengekspresikan perasaan. Informasikan bahwa perbaikan penglihatan tidak terjadi secara langsung.perbaikan pada mata memerlukan waktu enam bulan atau lebih
R/meningkatkan kepercayaan dan kerja sama, berbagi perasaan membantu menurunkan ketegangan. Informasi untuk perbaikan penglihatan bertahap diperlukan untuk mengantisipasi depresi atau kekecewaan setelah fase operasi dan memberikan harapan akan hasil operasi.

3. Resiko cedera yang berhubungan dengan penigkatan tekanan intraocular ( TIO ), perdarahan, kehilangan vitreus.
• Diskusikan tentang rasa sakit, pembatasan aktivitas dan pembalutan mata
R/ meningkatkan kerja sama dan pembatasan yang diperlukan
• Tempatkan klien pada tempat tidur yang lebih rendah dan anjurkan untuk membatasi pergerakan mendadak/ tiba-tiba serta menggerakkan kepala berlebih.
R/ istirahat mutlak diberikan hanya beberapa menit hingga satu atau dua jam pasca operasi atau satu malam jika ada komplikasi.
• Bantu istirahat selama fase istirahat
R/ mencegah atau menurunkan resiko komplikasi cedera.
• Ajarkan klien untuk menghindari tindakan yang dapat menyebabkan cedera ( mengejan, menggerakkan kepala mendadak, membungkuk terlalu lama, batuk)
R/tindakan yang dapat meningkatkan TIO dapat memperlambat proses penyembuhan dan menimbulkan kerusakan struktur mata pasca operasi.
• Amati kondisi mata : luka menonjol, bilik mata depan menonjol, nyeri mendadak setiap 6 jam pada awal operasi atau seperlunya
R/ berbagai kondisi seperti luka menonjol, bilik mata depan menonjol, nyeri mendadak, hiperemia, serta hipopion, mungkin menunjukkan cedera mata pascaoperasi. Apabila pandangan melihat benda mengapung ( floater ) atau tempat gelap mungkin menunjukkan ablasio retina.

4. Nyeri yang berhubungan dengan luka pasca operasi
• Kaji derajat nyeri setiap hari
R/normalnya nyeri terjadi dalam waktu kurang dari lima hari kurang dari operasi dan berangsur menghilang. Nyeri dapat meningkat karena peningkatan TIO 2-3 hari pascaoperasi. Nyeri mendadak menunjukan peningkatan TIO masif.
• Anjurkan untuk melaporkan perkembangan nyeri setiap hari atau segera saat terjadi peningkatan nyeri mendadak
R/penanganan yang cepat dan tepat terhadap perubahan negatif yang dialami klien dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kerusakan pada proses penyembuhan.
• Anjukan klien untuk sebisa mungkin mengontrol gerakan tiba-tiba ( mengucek mata, batuk )
R/ gerakan tiba-tiba dapat memprovokasi nyeri
• Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
R/menurunkan ketegangan, mengurangi nyeri
• Lakukan tindakan kolaboratif untuk pemberian analgesik topikal/ sistemik.
R/mengurangi nyeri dengan meningkatkan ambang nyeri


5. Gangguan perawatan diri yang berhubungan dengan penurunan penglihatan, pembatasan aktivitas pasca operasi.
• Terangkan pentingnya perawatan diri dan pembatasan aktivitas selama fase pascaoperasi
R/klien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur pada 2-3 jam pertama pascaoperasi atau 12 jam jika ada komplikasi. Selama fase ini bantuan total diperlukan bagi klien
• Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
R/meminimalkan aktivitas klien dapat mencegah mencegah terjadinya komplikasi
• Secara bertahap libatkan klien dalam memenuhi kebutuhan diri
R/ upaya melinatkan klien dalam aktivitas perawatan dirinya dilakukan bertahap dengan berpedoman pada prinsip bahwa aktivitas tidak memicuh peningkatan TIO dan meyebabkan cedera mata. Kontrol klinis dilakukan dengan menggunakan indikator nyeri mata pada saat melakukan aktivitas. Umumnya 24 jam pascaoperasi, individu boleh melakukan aktivitas perawatan diri.

6. Resiko ketidakefektifan penatalaksanaan regimen terapeutik yang berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang sumber pendukung.
• Kaji tingkat pengetahuan klien tentang perawatan pascahospitalisasi
R/dengan menambah dan memperbaiki pengetahuan yang sudah dimiliki klien mengenai perawatan pascahospitalisasi diharapkan klien dapat menjalankan perawatan selanjutnya dirumah secara mandiri.
• Terangkan aktivitas yang diperbolehkan dan yang harus dihindari (yang diperbolehkan seperti : membaca,menonton televisi namun jangan terlalu lama,boleh melakukan aktivitas ringan; aktivitas yang harus dikontrol seperti: mengucek mata, mengejan,batuk paksa,bersin, memakai sabun mendekati mata, mengangkat beban lebih dari 7 kg, menundukkan kepala sampai dibawa pinggang)
R/dengan membatasi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan,kegiatan yang harus dikontrol maupun yang harus dihindari dapat mencegah terjadinya komplikasi pascaoperasi.
• Terangkan berbagai kondisi yang harus dikonsultasikan ( nyeri pada sekitar mata, sakit kepala menetap, nyeri disertai mata merah, bengkak atau keluar cairan dari mata, nyeri dahi mendadak, perubahan ketajaman penglihatan, kabur, pandangan ganda, selaput pada lapang penglihatan)
R/ konsultasi terhadap perubahan yang negatif dapat membantu meminimalkan terjadinya komplikasi pascaoperasi.

• Berikan kesempatan bertanya
R/meningkatkan ras percaya diri, rasa aman, dan mengeksploitasikan pemahaman serta hal-hal yang mungkin belum dipahami klien

Jumat, 01 April 2011

ASUHAN KEPERAWATAN KETUBAN PECAH DINI


       I.            Definisi ketuban pecah dini
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda-tanda persalinan dan ditunggu satu jam sebelum dimulainya tanda-tanda persalinan (Manuaba, 1998).
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, serta menyebabkan infeksi pada ibu yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (Prawirohardjo, 2002).

    II.            Etiologi
·         Serviks inkopeten
·         Ketegangan rahim berlebihan; kehamilan ganda, hidramnion
·         Kelainan letak janin dalam rahim, letak sunsang, letang lintang
·         Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk PAP, sepalopelvik disproforsi
·         Kelainan bawaan dari selaput ketuban
·         Infeksi

 III.            Patofisiiologi
Ketuban pecah dini berhubungan dengan kelemahan menyeluruh membrane fetal akibat kontraksi uteri dan peregangan berulang. Membran yang mengalami rupture premature ini tampak memiliki defek fokal disbanding kelemahan menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya membrane ini disebut “ restricted zone of extreme altered morphology” yang ditandai dengan adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta, fibroblast maupun spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan daerah breakpoint awal. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ilalah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi.
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung  sebagai berikut : 
  Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularisas
Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban. 
 IV.            Manifestasi klinis 
Setelah ketuban pecah dini pada kondisi “term’, sekitar 70% pasien akan memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm, periode latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia gestasional, misalnya pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode latensi berkisar hanya 4 hari. 
Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi. Peningkatan lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi premature memiliki pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal bebas pada bayi premature menunjukan tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu pertama kehidupan. Beberapa komplikasi pada neonatus diperkirakan terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus terhadap trauma radikal oksigen. 
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya "mengganjal" atau "menyumbat" kebocoran untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.  
V.            Factor resiko 
Faktor risiko ketuban pecah dini persalinan preterm  
o   kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%). 
o   riwayat persalinan preterm sebelumnya 
o   perdarahan pervaginam 
o   pH vagina di atas 4.5 
o   Kelainan atau kerusakan selaput ketuban. 
o   flora vagina abnormal 
o   fibronectin > 50 ng/ml 
o   kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm 
o   Inkompetensi serviks (leher rahim). 
o   Polihidramnion (cairan ketuban berlebih) 
o   Riwayat KPD sebelumya 
o   Trauma 
o   servix tipis / kurang dari 39 mm, Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu 
o   Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis 
VI.            Komplikasi
  Infeksi 
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. 
  partus peterm 
Persalinan preterm atau partus prematur adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu ( antara 20 – 37 minggu ) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram ( Manuaba, 1998 : 221) 
Prolaps Tali pusat 
Tali pusat menumbung 
distasia ( partus Kering) 
Pengeluaran cairan ketuban untuk waktu yang akan lama akan menyebabkan dry labour atau persalinan kering 
   Ketuban pecah dini merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan prematuritas janin. 
Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan dilakukan setelah 24 jam onset 
Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam janin, khususnya pada kasus oligohidramnion 
VII.            Pengkajian 
ü  Biodata klien  
berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, No. Medical Record, Nama Suami, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian. 
Keluhan utama  : 
keluar cairan warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau / kecoklatan sedikit / banyak, pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering, inspeksikula tampak air ketuban mengalir / selaput ketuban tidak ada dan air ketuban sudah kering  
ü  Riwayat haid 
Umur menarchi pertama kali, lama haid, jumlah darah yang keluar, konsistensi, siklus haid, hari pertama haid dan terakhir, perkiraan tanggal partus 
ü  Riwayat Perkawinan 
Kehamilan ini merupakan hasil pernikahan ke berapa? Apakah perkawinan sah atau tidak, atau tidak direstui dengan orang tua ? 
ü  Riwayat Obstetris 
Berapa kali dilakukan pemeriksaan ANC, hasil laboraturium : USG , darah, urine, keluhan selama kehamilan termasuk situasi emosional dan impresi, upaya mengatasi keluhan, tindakan dan pengobatan yang diperoleh 
ü  Riwayat penyakit dahulu  
Penyakit yang pernah di diderita pada masa lalu, bagaimana cara pengobatan yang dijalani nya, dimana mendapat pertolongan, apakah penyakit tersebut diderita sampai saat ini atau kambuh berulang – ulang  
ü  Riwayat kesehatan keluarga 
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit yang diturunkan secara genetic seperti panggul sempit, apakah keluarga ada yg menderita penyakit menular, kelainan congenital atau gangguan kejiwaan yang pernah di derita oleh keluarga 
ü  Kebiasaan sehari –hari   
a.       Pola nutrisi : pada umum nya klien dengan KPD mengalami penurunan nafsu makan, frekuensi minum klien juga mengalami penurunan 
b.      Pola istirahat dan tidur : klien dengan KPD mengalami nyeri pada daerah pinggang sehingga pola tidur klien menjadi terganggu, apakah mudah terganggu dengan suara-suara, posisi saat tidur (penekanan pada perineum)  
c.       Pola eliminasi : Apakah terjadi diuresis, setelah melahirkan, adakah inkontinensia (hilangnya infolunter pengeluaran urin),hilangnya kontrol blas, terjadi over distensi blass atau tidak atau retensi urine karena rasa takut luka episiotomi, apakah perlu bantuan saat BAK. Pola BAB, freguensi, konsistensi,rasa takut BAB karena luka perineum, kebiasaan penggunaan toilet. 
d.      Personal Hygiene : Pola mandi, kebersihan mulut dan gigi, penggunaan  pembalut dan kebersihan genitalia, pola berpakaian, tata rias rambut dan wajah. 
e.       Aktifitas : Kemampuan mobilisasi klien dibatasi, karena klien dengan KPD di anjurkan untuk bedresh total 
f.        Rekreasi dan hiburan : Situasi atau tempat yang menyenangkan, kegiatan yang membuat fresh dan relaks. 
ü  Pemeriksaan fisik 
o   Pemeriksaan umum: suhu normal kecuali disertai infeksi. 
o   Pemeriksaan abdomen: uterus lunak dan tidak nyeri tekan. Tinggi fundus harus diukur dan dibandingkan dengan tinggi yang diharapkan menurut hari haid terakhir. Palpasi abdomen memberikan perkiraan ukuran janin dan presentasi maupun cakapnya bagian presentasi. Denyut jantung normal. 
o   Pemeriksaan pelvis: pemeriksaan speculum steril pertama kali dilakukan untuk memeriksa adanya cairan amnion dalam vagina. Karna cairan alkali amnion mengubah pH asam normal vagina, kertas nitrasin dapat dipakai untuk mengukur pH vagina. Kertas nitrasin menjadi biru bila ada cairan alkali amnion. Bila diagnose tidak pasti adanya skuama anukleat, lanugo, atau bentuk Kristal daun pakis cairan amnion kering dapat membantu. 
o   Pemeriksaan vagina steril: menentukan penipisan dan dilatasi serviks. Pemeriksaan vagina juga mengidentivikasi bagian presentasi dan stasi bagian presentasi dan menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat. 
ü  Pemeriksaan penunjang 
·         Pemeriksaan laboraturium  
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning.  
·         Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu. 
·         Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.  
·         Pemeriksaan ultrasonografi (USG)  
pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion. 
VIII.            Penatalaksanaan 
Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan  terja di RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru- paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.  
1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu) 
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya. Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah.bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan,dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam. 
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.  
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.  

2. penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)  

Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan. 
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan.  
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.  
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll.  
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.  
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.  
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS.(8) The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.  
. Keperawatan 
a.       Rawat rumah sakit dengan tirah baring. 
b.       Tidak ada tanda-tanda infeksi dan gawat janin. 
c.       Umur kehamilan kurang 37 minggu. 
d.       Antibiotik profilaksis dengan amoksisilin 3 x 500 mg selama 5 hari. 
e.       Memberikan tokolitik bila ada kontraksi uterus dan memberikan kortikosteroid untuk mematangkan fungsi paru janin. 
f.        Jangan melakukan periksan dalam vagina kecuali ada tanda-tanda persalinan. 
g.       Melakukan terminasi kehamilan bila ada tanda-tanda infeksi atau gawat janin. 
h.       Bila dalam 3 x 24 jam tidak ada pelepasan air dan tidak ada kontraksi uterus maka lakukan mobilisasi bertahap. Apabila pelepasan air berlangsung terus, lakukan terminasi kehamilan. 
1.1.8.2.  Medis 
a.       Bila didapatkan infeksi berat maka berikan antibiotik dosis tinggi. Bila ditemukan tanda-tanda inpartu, infeksi dan gawat janin maka lakukan terminasi kehamilan. 
b.       Induksi atau akselerasi persalinan. 
c.       Lakukan seksiosesaria bila induksi atau akselerasi persalinan mengalami kegagalan. 
d.       Lakukan seksio histerektomi bila tanda-tanda infeksi uterus berat ditemukan.